Mahar Politik, Pancasila dan Islam

Artikel395 Dilihat
Share

“Oleh : Mohd Haramen”

MENJELANG Pilkada serentak 2019 ini, isu mahar politik marak kembali. Terlebih sejak salah satu calon kandidat Gubernur Jawa Timur La Nyalla Matalitti membuka isu mahal politik itu ke public. Dia mengaku batal mencalonkan diri sebagai gubernur gara-gara tidak memenuhi mahar politik yang diminta salah satu Ketua Parpol.

Terlepas dari peristiwa tersebut, harus diakui di Negara Pancasila ini ternyata politik uang demikian kentara. Menjelang Pemilu, Pilkada, Pileg, maupun Pilpres slogan “wani piro“ jadi bahan guyonan bila ada yang meminta dukungan.

Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada mengatur larangan calon dan/atau tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi pemilih. Termasuk larangan pemberian mahar kepada parpol.

Apabila pelanggaran dilakukan dan dibuktikan oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, pencalonan bisa dibatalkan. Parpol pun bisa dilarang mengajukan calon dalam pilkada berikutnya.

Makanya, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Abhan mengecam keras adanya mahar politik tersebut. Selasa (16/1) di Media Nasional Abhan berulang-ulang menyebutkan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun selama pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurutnya, Bawaslu bisa menjatuhkan hukuman pidana selama 6 tahun bagi penerima atau pemberi mahar politik.

Sanksi kedua katanya, adalah, hukuman administrasi dengan mendiskualifikasi calon yang akan mengikuti pemilihan umum. Tak hanya itu, dirinya juga menyinggung soal money politic. Dan itu katanya juga dilarang, baik pemberi dan penerima disanksi pidana. Sudah demikian jelas sanksinya, kalau masih tetap ada yang berani menerapkan mahar politik, dimanakah Jiwa Pancasila kita ? .

Filosofi Pancasila :

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, seharusnya, mahar politik ini tidak terjadi. Terlebih isi sila Pancasila yang pertama yakni berketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini meneguhkan Hadits Qudsi Riwayat Bukhari, “Sesungguhnya seluruh amal ibadah anak cucu Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasamu untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Sila kesatu Pancasila ini mengandung dua makna utama, yaitu tauhid dan akidah. Tauhid mengesakan Tuhan, sedangkan akidah mengikatkan diri pada keesaan Tuhan.

Baca Juga :  Dana Desa Rawan di Selewengkan

Jika kita bertauhid kepada Tuhan yang satu Allah SWT, seharusnya percaya dengan kekuasaannya bukan kekuasaan uang. Karena jika lebih mempercayai kekuasaan uang, artinya sudah syirik kepada Allah SWT. Dosa syirik tentu teramat besar untuk kita terima apabila ingin bahagia dunia dan akhirat.

Pandangan Islam :

Mahar politik ini di dalam Islam dikenal dengan nama Rishwah. Rishwah ini adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang kepada hakim atau yang lainya agar memberi hukum menurut kehendak orang yang memberikan sesuatu itu. Dan tentunya hal ini sangat dilarang dalam Islam.

Terlebih Allah SWT dalam Al-Quran menyinggung praktek Rishwah pada sejumlah ayat. Diantaranya: Artinya : Wahai orang-orang yang beriman jangan lah kamu sekalian memakan harta sebagian diantara kamu dengan bathil, kecuali itu adalah tijarah yang telah disepakati bersama, dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. sesungguhnya Allah sangat menyayangimu.

Demikian juga Rasulullah SAW dalam hadits riwayat sahabat Tsauban beliau berkata ” Rasulullah SAW telah melaknat Tukang Suap, Penerima Suap, dan yang menjadi perantara dari kedua belah pihak.  Dalam hadist lain juga disebutkan, “Dari abi umamah Radliallahu ‘Anhu dari Nabi saw beliau bersabda : barang siapa yang memberikan satu rekomendasi untuk seorang lantas ia memberikan hadiah atas rekomendasi tersebut lalu ia terima hadiah tadi, berarti ia telah mendatangi pintu riba yang besar.”(HR. Ahmad, 5/261)

Dalam buku Ushul Fikih, yang diterjemahkan Drs. H. Nasrun Haroen, MA (1987) disebutkan bahwa “alhukmu yadhurru ma’a illatihi, wujudan au-adaman.” Artinya, hukum itu beredar (mengikuti) sesuai illat (sesuatu yang menyebabkan perkara itu terjadi). Dalam hal ini, politik uang menjadi haram karena memang melanggar hukum, norma agama, dan Undang-undang Dasar 1945.

Sampai disini kita tahu, baik aturan ketatanegaraan, Pancasila dan Islam sudah melarang mahar politik tersebut. Masihkah melakukannya ? Wallahua’alam.

(Penulis adalah Koordinator Provinsi Laskar Santri Nusantara Wilayah Jambi)

Komentar