Impor Beras Menurut Ibnu Taimiyah

Artikel394 Dilihat
Share

 

Awal tahun 2018 ini, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan impor sebanyak 500.000 ton beras dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kebijakan ini telah menuai kontroversi dimana-mana. Terlebih saat ini para petani sedang menghadapi musim panen raya. Sehingga dengan masuknya beras impor dikhawatirkan harga gabah di tingkat petani jadi merosot. Bila harga gabah melorot, pendapatan petani turun dan kondisi ini akan menurunkan daya beli. Bila daya beli turun, permintaan barang dan jasa akan terjun bebas. Ketika permintaan merosot, produksi barang dan jasa juga hampir dipastikan turun. Hal ini menyebabkan perusahaan berlomba-lomba melakukan efisiensi dengan cara mengurangi jumlah karyawan. Apabila ini terjadi, maka muncullah pengangguran dimana-mana. Makanya, wajar saja, ketika banyak pihak mengkhawatirkan dampak negatif impor beras ini.

Disisi lain, catatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman sendiri, stok beras saat ini hanya 930 ribu ton. Yakni, kurang dari 1 juta ton yang merupakan batas aman cadangan beras nasional. Jika stok ini dibiarkan kurang, maka yang akan terjadi inflasi harga beras. Kalau harga beras melonjak, daya belinya juga akan turun. Dan ini akan menyebabkan masyarakat dibawah garis kemiskinan terancam kelaparan. Makanya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bersikeras, impor beras merupakan keharusan. Dan akhirnya ditunjuklah Perum Bulog sebagai importir sesuai dengan pasal 3 ayat (2) huruf di Perpres Nomor 48/2016 dan diktum ketujuh angka 3 Inpres Nomor 5/2015. Meski sebelumnya sempat diprotes karena Mendag menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai pihak pengimpor.

Sekarang yang menjadi permasalahan, bisakah pemerintah melakukan intervensi harga ketika terjadi inflasi ? Mengingat, persoalan impor beras ini sudah menjadi kontroversi di masyarakat. Lalu, bagaimana pandangan ulama terdahulu, seperti Ibnu Taimiyah terhadap persoalan ini ?

Pendapat Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar kelahiran Harran, 22 Januari 1263. Nama lengkapnya yakni  Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim. Dia banyak menghabiskan umurnya di Mesir dan Syria. Mengingat, kedua kota itu menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Mamluk. Ia meninggal dalam usia 65 tahun saat berada di posisi penjara Damaskus tahun 1328. Ibnu Taimiyah menulis banyak buku, dua diantaranya tentang ekonomi. Setidaknya ada dua bukunya yang termasyur itu yakni, berjudul : Al-Hisbah fi’l-Islam dan al-Siyasah al-Shariah fi Islah alRai wal’l-Raiyah.

Baca Juga :  Rasa Gundah Bertahan dengan Air Mata

Didalam bukunya Al Hisbah fi’l-Islam, Ibnu Taimiyah,  memaparkan harga ditentukan melalui kekuatan permintaan dan penawaran. Dia menyebutkan, naik turunnya harga tidak selalu diakibatkan kezaliman orang orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta masyarakat. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun.

Beliau juga berpendapat, negara harus berperan penting dalam pemenuhan kepentingan publik. Negara harus melakukan intervensi jika harga yang berlaku di pasar akibat kezaliman supplier (penimbunan dan manipulasi pasar). Bahkan dia memperkenalkan institusi Hisbah untuk memastikan semua pelaku ekonomi memenuhi semua kewajibannnya terhadap pihak lain dan bertindak berdasarkan norma dan aturan yang berlaku.

Merujuk kepada pendapat Ibnu Taimiyah ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil. Pertama, impor beras boleh dilakukan sepanjang memang persediaan beras dalam negeri minim. Kedua, impor beras tidak boleh merugikan petani yang saat ini sedang panen raya. Ketiga, pemerintah harus bisa memastikan bahwa kenaikan harga beras saat ini bukan ulah spekulan. Jika ada ulah spekulan pemerintah harus melakukan penegakan hukum. Keempat, bea cukai impor beras harus lebih rendah dari cukai barang lain. Hal ini sejalan pendapat Abu Ubaid bin Salam bin Miskin bin Zaid al-Azdi. Dalam kitabnya yang berjudul Al Amwaal, Abu Ubaid  menyebutkan, untuk impor barang kebutuhan pokok, sebaiknya diberlakukan kebijakan bea cukai lebih murah.

Ini sejalan dengan surat Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada Gubernurnya di Bashrah ‘Adi bin Artha’ah yang isinya memerintahkan penghilangan cukai barang impor atas barang-barang untuk pemenuhan kebutuhan pokok ummat manusia. Karena dikhawatirkan bisa merugikan banyak orang.

Semoga saja apa yang diajarkan oleh pendahulu kita menjadi pelajaran bagi pemangku kebijakan dalam mengambil keputusan publik dimasa kini. Agar kemakmuran dan pemerataan kesejahteraan tercapai untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang atau golongan saja.

(Penulis adalah alumni Magister Ekonomi Islam UIN STS Jambi)

Komentar