Masjid AL Falah Dusun Empelu Bukti Nyata Perkembangan Islam di Bungo

Artikel, Titik Bungo2143 Dilihat
Share

Muara Bungo – Masjid Al-Falah yang terletak di Dusun (desa) Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal ini merupakan bukti penyebaran agama islam yang masih tersisa di Kabupaten Bungo hingga saat ini.

Rifa’i, mantan pengurus masjid Al-Falah menyebutkan bahwa masjid yang sudah berusia sekitar dua abad ini awalnya hanyalah sebuah surau yang dibangun pada tahun 1827. Pada waktu itu diberi nama Al Hidayah dan di bangun dimasa kepemimpipinan Rio (kades) Agung Niat Tuangku Kitab.

“Rio (Kepala Desa) Agung ini merupakan Rio pertama dusun Empelu, pembangunan surau waktu itu merupakan perintah pangeran Anom yang tinggal di dusun Tanah Periuk. Rio inilah yang mengajak masyarakat untuk bergontong royong untuk mencari kayu ke hutan. Surau ini dibangun secara bertahap,” ucap Rifa’i, Minggu (11/4).

Ia juga menjelaskan, surau ini awalnya dibangun seperti rumah panggung yang terdiri dari beberapa tiang. Dan bangunan sederhana ini menggunakan peralatan tradisional kuno. Surau ini tak digunakan hanya untuk tempat sholat, namun juga untuk tempat pengajian, musyawarah, peringatan hari besar islam dan lainnya yang bersifat kebaikan.

“Pada tahun 1827 surau Al-Hidayah ini direnofasi dengan bangunan batu. Bangunan semi permanen ini dibangun oleh Abu Kasim yang berasal dari pulau Jawa dan lama tinggal di Malaysia. Karena keterbatasan dana, maka bangunan ini tidak selesai. Surau Al-Hidayah ini diganti menjadi Masjid Al-Falah. Masjid ini diresmikan oleh pangeran Anom dipimpin raja Demak dari Jawa, Mataram,” jelasnya.

Baca Juga :  Resmi Dilantik, Muhammad Tobri Akan Gratiskan Pendidikan Madrasyah dan Paud
Bentuk Masjid Dusun (Desa) Empelu Saat Ini

Pada tahun 1837, bangunan masjid Al-Falah ini kembali direnofasi. Kali ini tukangnya adalah Mangali beserta anaknya Nawawi yang berasal dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Bentuk bangunan inipun penuh dengan makna dilengkapi dengan dua buah menara bertingkat yang berbentuk segi delapan.

“Bangunan menara dengan segi delapan ini memiliki makna tersendiri. Dimana maksud dari segi delapan ini merupakan seluko adat mengatakan nenek empat dan puyang delapan,” katanya.

Kemudian, pada tahun 1850 masjid ini kembali direnofasi. Kali ini dilakukan penambahan menara masjid. Dimana menara masjid bertambah menjadi 5 menara yang memiliki arti sholat 5 waktu. Pembangunan ini akhirnya diselesaikan pada tahun 1851 dimasa kepemimpinan Rio Abdul Kadir.

“Pada tahun 1856 atap masjid diganti dari atap biasa menjadi atap seng. Tukangnya bernama Sari Amin. Kemudian pada tahun 1967 dilakukan penukaran kayu tiang manara. Dan diganti menjadi kayu kulim,” sebutnya.

Terakhir, bangunan masjid terjadi perubahan bentuk yang cukup signifikan pada tahun 2013. Pada musyawarah awal sebelum renofasi masjid akan dirubah bentuk. Namun kenyataannya pembangunan diserahkan pada generasi muda yang tidak paham.

“Jadi saat ini bagian masjid yang masih asli tersisa hanya bagian menara. Menara ini masih menggunakan kayu bulian yang tidak lapuk oleh hujan dan panas. Saat ini bangunan ini juga butuh perhatian dari pemerintah. Namun sayangnya hingga saat ini belum ada perhatian,” tutup Rifa’i. (tj)

Komentar