Hidup Diera VUCA, Aswaja Jadikan Benteng

Share

Jambi – Di era globalisasi ini, fenomena VUCA (Volatilitas, Uncertainty, Compleks, dan Ambiguitas) mewarnai dunia. Masyarakat dihadapkan dengan dua sisi kehidupan. Disatu sisi bagian dari citizen, dilain sisi adalah bagian dari nitizen.

“Citizen diikat dengan aturan kewarganegaraan, sedangkan nitizen tidak ada aturan yang mengikat dan tanpa garis batas negara,” ungkap Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi saat berdialog dengan Pengurus Wilayah ISNU Provinsi Jambi di Ruang Muhammad Iqbal Pasca Sarjana UIN STS Jambi tadi sore.

Lebih jauh dikatakannya, fenomena Vuca ini merupakan anak kandung globalisasi dan konsekwensi dari revolusi industri 4.4o. Ini disebabkan perkembangan penggunaan internet yang demikian pesat. Dan saat ini menyebabkan dunia serba tidak jelas.

“Dulu dalam konsep ekonomi, asal efesien dalam berusaha, maka RoI (Return of Investment) nya jelas biso dihitung. Sekarang tidak bisa lagi. Contoh BlackBerry, tanpa melakukan kesalahan apa apa, tiba tiba lenyap. Demikian juga Nokia diguncang android, langsung hilang,” terangnya.

Baca Juga :  Hari Pertama, Pemeriksaan Kesehatan Hamas-Apri Berjalan Lancar

Saat ini lanjutnya, merupakan era matinya kepakaran. Bagaimana mungkin sebuah fiksi yang dikonstruksi terus menerus bisa jadi fakta.

“Dulu jadi kiyai itu sulit, saya sembilan tahun mondok nggak jadi kiyai. Tapi sekarang, asal mau pake peci putih, pakai jubah, caci maki pemerintah lalu teriak takbir, langsung dianggap ulama,” tegasnya.

Nah untuk bisa bersaing diera sekarang, perlu meningkatkan SDM. Setelah itu memperbaiki infrastruktur. Karena infrastruktur Indonesia indeksnya jauh dibawah negeri jiran.

“Selain itu juga perlu reformasi birokrasi dengan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan,” ucapnya.

Perguruan tinggi NU sebutnya, harus berpartisipasi di era ini. Dalam membuka prodi, jangan latah. Tetapi tetap berpegang pada kaidah al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah  ( Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik, red). “Faham aswaja harus jadi tolak ukur, jangan lupakan aswaja,” tandasnya. (*)

Komentar